Jangan Lupa Esensi Sarjana

* Manfaatkan Waktu Bersama Orang Tua


KOLASE ILMU - Hari ketika wisuda merupakan momen bahagia yang dirasakan para wisudawan dan wisudawati. Namun duka bagi mahasiswa basi, yang sekian lama tak kunjung usai mengerjakan skripsi. Tapi berbahagialah bagi para mahasiswa basi.

Menjadi seorang sarjana merupakan cita-cita yang mungkin saja diimpikan banyak orang. Memakai baju toga, pindah tali, foto bersama keluarga dan teman, lempar topi toga ke atas, tertawa sumringah, dan lainnya. Tapi percayalah, kebahagiaan itu hanya terasa dalam satu hari saja. Selebihnya hanya terbingkai dalam senyum di selembar kertas foto.

Menjadi seorang sarjana, apalagi sarjana muda memiliki beban berat. Ya, bisa dikatakan berat karena harus menyandang dua huruf di belakang nama, SE. Misalnya sarjana ekonomi. Setidaknya seorang sarjana harus menguasai bidang keahliannya.

Belum lagi nanti ditanya sudah kerja apa belum. Atau kerja dimana, kok enggak sesuai dengan jurusannya. Atau gajimu berapa, sedikit amat, mending di kampung noreh getah karet.

Hemmm, percayalah esensi menjadi sarjana bukan hanya sebatas besar gaji ataupun di mana kerja. Tapi, sejauh mana kebermanfaatan kita menjadi seorang sarjana. Menebarkan senyum, membawa kebahagian, meskipun hati terluka.

Menjadi sarjana tentunya kita sudah memiliki ilmu-ilmu pendidikan dari segala lini. Yang itu nantinya dapat menjadi bekal ketika hidup di dunia maupun akhirat. Terlebih untuk membina keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah.

Biasanya seorang sarjana langsung diserbu pertanyaan, "kapan nikah?". Biasanya banyak menyerbu seorang sarjana perempuan. Ya, abaikan saja bagi seorang laki-laki. Lebih baik fokus dulu pada kemapanan hidup, setidaknya mengumpulkan uang jujuran.

Inti dari semua ini, kita sebagai manusia harus mencari ridha Allah, dan mengharap keberkahan atas semua yanh dilakukan. Seorang Filsuf, Buya Hamka pernah berkata "Jika hidup hanya sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Jika bekerja hanya sekadar bekerja, kera di hutan juga bekerja".




Setidaknya pada saat momen wisuda, hamba masih bisa bertemu dengan kedua orang tua tercinta. Tanpa mereka apalah jadinya hamba. Melalui perantara orang tua lah, hamba dapat menjadi sekarang ini.

Keriput tulang pipinya menjadi saksi, bahwa perjuangan mensuport anaknya yang berpendidikan tidaklah mudah. Semua ini kupersembahkan untuk kedua orang tuaku.

Saat di momen wisuda, aku bertemu dengan seorang teman dan dia merupakan senior. Dia wisuda menjadi seorang magister atau strata dua.

"Bahagianya orang yang wisuda bersama orang tuanya. Orang tuamu di mana rul?," ucapnya.

"Masih di jalan bang. Di Bati-bati macet jar, ada kabut asap. Orang tua pian (kamu) pang di mana bang?" sontak jawabku, sekalian menanyakan balik.

"Kamu masih enak saat wisuda masih ada orang tua. Kalau aku ini, ya sendirian gini. Orang tua sudah gak ada keduanya," ungkapnya lirih sambil memegang baju toga yang masih dibungkus plastik.

Maka berbahagialah yang masih mempunyai orang tua. Manfaatkan waktumu. Mumpung mereka masih hidup, maka cepatlah lulus.

(Airul syahrif)


Comments

Popular posts from this blog

Lirik Lagu Kidung Wahyu Kolosebo Beserta Artinya

Cerita Anak Perantauan Diusir Dari Kos, Diammu Itu Pedihku

Truk Kontainer VS Truk Trailer