Cerita Anak Perantauan Diusir Dari Kos, Diammu Itu Pedihku
KOLASEILMU.com - Sreeek... sreeek... sreeek... Suara sapu lidi di pagi hari membangunkan tidur kami yang sedang terlelap dalam mimpi.
Dengan sontak kaget aku dan sahabatku pun terbangun, sadar karena paman yang mempunyai kontrakan rumah kami datang dan menyapu halaman.
Kontrakan kami memang cukup berantakan. Wajarlah, karena sejatinya kami adalah laki-laki tangguh yang cuek dan acuh tak acuh.
Dengan sontak kaget aku dan sahabatku pun terbangun, sadar karena paman yang mempunyai kontrakan rumah kami datang dan menyapu halaman.
Kontrakan kami memang cukup berantakan. Wajarlah, karena sejatinya kami adalah laki-laki tangguh yang cuek dan acuh tak acuh.
Paman pemilik kontrakan kami tinggal cukup jauh dari kontrakan, tetapi beliau rutin menjenguk kontrakan pada setiap hari Jum’at pagi, sekaligus ziarah ke kuburan orang tuanya.
“Sudah lama datangnya man?” dengan senyum segan kami menyapa paman kontrakan yang sedang menyapu halaman rumah. Sepertinya pagi itu wajah paman agak sinis melihat kami.
“Enggak, tadi paling baru lima menit. Ayo bantu paman menyapu halaman rumah!”
“Iya man,” serentak kami menjawab ajakan paman tadi.
Paman Inas, itulah nama panggilannya. Dia adalah pria berumur 30 tahun yang belum menikah, dan kami pun tidak mengetahui secara pasti alasannya belum menikah.
Dia adalah salah satu anak tokoh terkenal di kampung ini. Sifat ramah dan senyum manis selalu melekat di wajahnya, walaupun terkadang melontarkan sindiran-sindiran tajam kepada kami berdua.
Dia adalah salah satu anak tokoh terkenal di kampung ini. Sifat ramah dan senyum manis selalu melekat di wajahnya, walaupun terkadang melontarkan sindiran-sindiran tajam kepada kami berdua.
Saat itu kami masih duduk di kelas 1 SMK di Kabupaten Tanah Laut, Kalsel. Walaupun kami baru ketemu, tapi kami selalu cocok dan saling melengkapi.
Namaku Airul Syahrif, tapi lebih akrab dipanggil Awun. Sedangkan, nama lengkap sahabatku adalah Iwan Suwandi, dia lebih sering kupanggil Iwan walaupun terkadang ku panggilan Suwandi, yang dia tidak suka panggilan itu.
Iwan adalah sosok yang sederhana, dan darinyalah aku belajar bagaimana menghargai hidup yang keras ini.
------- Sindiran Ringan
Pagi itu setelah kami dan juga paman kotrakan menyelesaikan pekerjaan yang cukup melelahkan. Dengan sontak paman Inas membuat kami kaget dengan perkataan sindirannya yang seolah-olah mengusir kami.
“Wan, Rul. Sepertinya keluarga paman yang dari Jawa, bulan depan bakalan ke sini dan tinggal di sini,“ ungkap paman Inas dengan nada datar.
“Emmmm, gitu ya man?” ujarku dengan wajah datar juga. Dan paman membalas dengan senyum manisnya.
Perkataan paman Inas memang terdengar santai, tapi menurut kami itu adalah sebuah sindiran untuk menyuruh kami pindah kontrakan.
Saya dan Iwan izin permisi untuk siap-siap pergi ke sekolah.
Pagi itu kami berdua berjalan menuju sekolahan yang jaraknya tak jauh dari kontrakan kami. Di sepanjang jalan, kami hanya sibuk membicarakan kontrakan, bahkan sampai di kantin dan musholla sekolahan.
Pagi itu kami berdua berjalan menuju sekolahan yang jaraknya tak jauh dari kontrakan kami. Di sepanjang jalan, kami hanya sibuk membicarakan kontrakan, bahkan sampai di kantin dan musholla sekolahan.
“Wan, kita minggat ke mana?” tanyaku pada Suwandi.
“Kolong jembatan,” candanya.
“Idiiih, mendingan di emperan toko,haha,” balasku.
------- Tawaran Kos-Kosan Murah
Malam hari setelah shalat isya, datang seorang teman kami yang rumahnya hanya berjarak beberapa rumah dari kontrakan kami. Namanya Rizky Dwi Cahyadi, tapi lebih akrab di panggil Iky. Dia sering datang ke kontrakan kami dan memainkan gitar.
“Wuuuuuuuunnn.... Waaaaaaaaaaannn... !"
“Uyyyyyy, masuk Ky,” jawab kami dari dapur kontrakan.
Saat itu kami berdua sedang asyik memasak menu makan malam, serta membicarakan perpindahan kontrakan. Dan ternyata pada saat itu Iky membawa kabar gembira kepada kami.
Dia menawarkan untuk tinggal di rumah neneknya, yang kebetulan baru meninggal satu bulan yang lalu. Dan nantinya kami akan hidup satu atap dengan Iky.
Dia menawarkan untuk tinggal di rumah neneknya, yang kebetulan baru meninggal satu bulan yang lalu. Dan nantinya kami akan hidup satu atap dengan Iky.
“Kira-kira berapa Ky tarifnya di tempatmu, perbulannya?” tanya Iwan.
“Kata ibuku kemarin cukup 50 ribu saja perorang, tapi listrik bayar sendiri,” jawab Iky.
“Oke, langsung deal,”sahutku dengan semangat. Iwan pun tersenyum sumringah.
Keesokan harinya Iwan memberi kabar kepada paman Inas bahwa kami berdua sudah menemukan kontrakan baru. Dan kami mulai mengemas barang-barang kami.
Karena rumah neneknya Iky terletak di sebelah rumahnya, dan hanya berjarak beberapa rumah dari kontrakan kami, itu memudahkan kami untuk lebih cepat mengusung barang-barang kami.
Iky adalah sosok yang humoris dengan tingkahnya yang cukup gila dan selalu membuat kami tertawa terbahak-bahak. Dia berbeda sekolah dengan kami berdua. Walau begitu, kami tetap akur dan klop dengannya.
Fasilitas di rumahnya cukup mewah dan lebih memadai untuk kontrakan seharga 50 ribu perorang.
Air tinggal colok, langsung mengalir. Kasur gak perlu repot-repot bawa, sudah disiapkan. TV tinggal pencet, langsung nyala. PS, tinggal mainkan.
Air tinggal colok, langsung mengalir. Kasur gak perlu repot-repot bawa, sudah disiapkan. TV tinggal pencet, langsung nyala. PS, tinggal mainkan.
Pokoknya lebih nyamanlah dari kontrakan kami yang sebelumnya. Itu semua memang karena Iky adalah teman kami. Dan dari pada rumah neneknya kosong dan tidak ada yang menghuni, mending kami bertiga yang menjaga rumahnya.
------- Diammu Itu Pedihku
Suatu hari saat kami sudah menginjak kelas 2 SMK. Satu semester sudah kami lalui bersama. Sehingga kami tahu, bagaimana sifat pribadi satu sama lain.
Aku dan Iwan diibaratkan tamu oleh Iky, dan sedang kami berfikir, kami bayar di rumah ini. Sehingga membuat Iky menjadi kesal karena tingkah kami yang acuh tak acuh serta berantakan.
Aku dan Iwan diibaratkan tamu oleh Iky, dan sedang kami berfikir, kami bayar di rumah ini. Sehingga membuat Iky menjadi kesal karena tingkah kami yang acuh tak acuh serta berantakan.
Setiap pulang sekolah kami selalu main PS, kamar tidur selalu berantakan, jarang menyapu rumah apalagi halaman rumah, sering bangun siang, dan selalu telat mengisi pulsa listrik sehingga bunyi tiiit...tiiit...tiiit..., setiap malamnya. Itulah yang membuat Iky agak kesal kepada kami.
Hingga pada suatu hari Iky tidak mau berbicara kepada kami. Entah, salah apa yang kami perbuat kepadanya. Setiap kami menanyakan sesuatu dia selalu diam dan cuek.
Memang walaupun kami sahabat, dan orang-orang sering menjuluki tiga bersaudara tapi untuk masalah yang satu ini kami sulit untuk menyelesaikannya, karena Iky hanya diam dan cuek.
Dibalik sikapnya yang humoris dan ceria, ternyata jika dia sedang kesal dan marah bisa membuat orang kebingungan dan takut.
Dibalik sikapnya yang humoris dan ceria, ternyata jika dia sedang kesal dan marah bisa membuat orang kebingungan dan takut.
“Wun, bagaimana ini? Seandainya nanti kita pulang sekolah, dan tiba-tiba baju kita sudah ada di depan kontrakan. Kita mau pergi ke mana lagi?” tanya Iwan kepadaku sambil berandai-andai.
“Iya juga ya. Ah, tapi masa Iky setega itu sama kita,”jawabku.
Saat kita pulang ke kontrakan, ternyata barang-barang kita masih aman di dalam rumah. Dan Iky masih tetap bersih kukuh untuk diam dan tak bicara. Begitulah laki-laki, gengsinya tinggi. Dia bersikap seperti itu sudah hampir tiga Minggu.
---------- Pahit, Manis, Asem, Kecut Anak Kos, Harus Begini...
Hingga pada suatu malam, tidak sengaja kami bertiga duduk bersama di depan TV dan kedatangan teman yang sedang asyik memainkan gitar.
Aku mencoba membuka pembicaraan dan mencairkan suasana dengan tanpa menyinggung atau menanyakan kenapa Iky menjadi marah dan menyendiri.
Aku mencoba membuka pembicaraan dan mencairkan suasana dengan tanpa menyinggung atau menanyakan kenapa Iky menjadi marah dan menyendiri.
Saat itu kami bertiga berbicara sangat elegan dari biasanya dan berwibawa bagaikan obrolannya orang dewasa. Dan Iky tiba-tiba berbaur ikut dengan pembicaraan kami. Dan pada malam itulah kami bertiga menjadi akrab kembali dan suasana kontrakan kami tidak baku lagi.
Kami pun lega, karena apa yang kami bayangkan tidak terjadi.
Karena memang tidak mudah bagi kami seorang laki-laki untuk mengakui sebuah kesalahannya. Karena gengsi kami sangat tinggi. Dan pada intinya hanya bicara dan jangan malu untuk mengungkapkan rasa janggal di dalam hati ini.
Karena memang tidak mudah bagi kami seorang laki-laki untuk mengakui sebuah kesalahannya. Karena gengsi kami sangat tinggi. Dan pada intinya hanya bicara dan jangan malu untuk mengungkapkan rasa janggal di dalam hati ini.
Setelah kejadian itu, kami bertiga tidak pernah lagi bertengkar dan bermusuhan hingga lulus SMK. Pahit, manis, asam, kecut kehidupan menjadi anak kos kami lalui bersama.
Canda tawa serta doa mengiringi hari-hari kami. (AIRUL, Banjarmasin, 7 Februari 2016)
Canda tawa serta doa mengiringi hari-hari kami. (AIRUL, Banjarmasin, 7 Februari 2016)
Tulisan ini dibuat saat masih dalam usia labil,dan masih alay, hiya hiya hiya, haha
Comments
Post a Comment